Minggu, 15 Maret 2009

Sebuah talkshow yang sangat menarik, dan dari pengakuan sang pelaku seks bebas, ia meyakini ada satu cara menghentikan kebiasaannya ? apakah itu ? silahkan disimak..



19 Februari 2003 (lima hari sesudah Valentine’s Day)
Acara “Duduk Perkara” TV7, pk. 21.30-22.30 WIB
Tema: Seks Bebas di Kalangan Remaja SMP
Narasumber: dr. Boyke, Tika Bisono (psikolog), ‘Bunga’ (3 SMP)

Pembawa acara (entah siapa namanya) mengutarakan bahwa saat ini seks
bebas telah marak dan menjadi trend di kalangan remaja SMP. Kalo dulu
pelakunya hanya satu dua dari kalangan menengah atas, kini sudah umum
dan bukan hanya dari kalangan itu. Kalo dulu penyebabnya karena
kurangnya kasih sayang, kini penyebabnya karena cari kesenangan
biologis. Begitu katanya. Untuk memperkuat sinyalemen ini, pembawa
acara mengajukan pertanyaan2 (yg sudah disiapkan) kepada Bunga.
Namun, sebagian besar pertanyaan2nya terkesan kurang memenuhi
kualifikasi ilmiah. Contohnya, ditanyakan “Apakah engkau merasa
kotor?” Mudah ditebak, Bunga (yg hingga kini sudah lebih dari dua
tahun menjalani kebiasaan seks bebas) menjawab, “Tidak.” Contoh lain,
ditanyakan bagaimana keadaan perekonomian keluarga, apakah serba
kecukupan ataukah kekurangan. Jawabannya, “Cukup, biasa2 saja.”
Jawaban yg terlalu subyektif ini tidak diselidiki lebih lanjut.
Tampaknya kurang ada upaya untuk obyektif. Atau jangan2 Bunga sengaja
digiring untuk memberi jawaban yg sesuai dengan kehendak pembawa
acara.

“Apakah di sekolahanmu seks bebas ini dilakukan satu dua orang saja?”
“Nggak. Semua teman saya seperti saya.” Lagi2 jawaban subyektif ini
tidak diteliti lebih jauh. Aku khawatir, sebagian pemirsa akan
semakin memiliki alasan pembenar untuk coba2 melakukan seks bebas
dengan dalih, “Toh semua orang melakukannya.” Aku tidak yakin apakah
pemirsa cukup jeli menyimak informasi dari dr. Boyke (di menit lain)
bahwa angkanya kurang dari 5 persen. (Itu pun dari responden yg
diteliti, dan dr. Boyke sendiri tidak menyatakan bahwa angka ini bisa
digeneralisasi untuk remaja SMP pada umumnya.) Dengan kata lain, seks
bebas adalah penyakit sosial dan bukan trend yg marak di kalangan
remaja Indonesia.

“Apakah hubunganmu dengan orangtua harmonis?”
“Ya. Kami baik2 saja. Tidak ada masalah antara kami.” Pembawa acara
tampak puas dengan jawaban ini. Namun, Tika Bisono cukup cerdas. Ia
mengejarnya dengan pertanyaan, “Apakah kamu sering ngobrol dengan
orangtuamu?” Jawabnya, “Jarang.”
“Apakah kamu kadang-kadang membicarakan masalah cinta, naksir, …
yach, masalah remaja lah dengan orangtuamu?”
“Tidak pernah.”
“Sewaktu ngobrol, apa yg dibicarakan?”
“Paling, ditanyai gimana sekolah saya.”
Dari jawaban2 seperti ini si narasumber menyatakan bahwa hubungan
antara sang orangtua dan si anak kurang sehat. Dengan kata
lain, ‘kenyataan’ yg dikemukakan oleh pembawa acara tidak benar.

Sesudah narasumber memberitahu bahaya seks bebas di luar nikah, Bunga
ditanyai oleh pembawa acara, “Apakah kamu ingin menghentikan
kebiasaan seks bebas ini?” Jawabnya, “Tidak. Ini menyenangkan dan
[sejauh ini] tidak ada masalah.” Tika Bisono tampak tidak kaget. Ia
mengatakan, remaja seumur dia memang cenderung berpikir masa kini
saja. Barulah bila semakin bertambah usia, masa depan semakin
diperhitungkan. Di masa dewasa lah orang biasanya mulai menyesali
perilakunya di kala remaja.

“Apakah ada syarat bagi temanmu untuk dapat berhubungan seks
denganmu?” Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Ya. Saya tidak ingin
melakukannya dengan pacar yang mencintai saya,” jawabnya.
“Dengan pacar malah tidak ingin melakukannya?”
“Ya,” tegasnya.
“Sekarang punya pacar?”
“Ya. Banyak. Tapi belum ada yang sungguh-sungguh mencintai saya.”

Akhirnya, pertanyaan terakhir dari pembawa acara merupakan yang
paling bermutu di antara pertanyaan2nya. “Apakah ada sesuatu yang
dapat menghentikan kebiasaan seks bebasmu ini?” Jawabannya cukup
menarik juga walau tidak terlalu mengejutkan aku lagi. “Ya. Bila ada
pacar yang sungguh-sungguh mencintai saya dan meminta saya
menghentikannya.”
“Walaupun seks itu masih kaurasa menyenangkan?” tanya pembawa acara
seakan tak percaya.
“Ya,” tegasnya.

Dengan demikian, secara tersirat Bunga mengakui bahwa cinta lebih
indah dan lebih menyenangkan daripada seks bebas. Tampaknya, penyebab
utama perilaku seks bebasnya bukanlah mencari kesenangan biologis,
melainkan karena kebutuhannya untuk dicintai pada masa remaja ini
belum terpenuhi. Lagi-lagi ‘teori’ si pembawa acara terpatahkan.

Hayoo.. gimana nih anak muda ?

Menanggulangi Masalah HIV/AIDS pada Remaja

Menarik untuk disimak sebuah tulisan yang dimuat oleh salah satu harian terkemuka nasional dalam rangka peringatan Hari AIDS Nasional 1 Desember ini. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa kampanye penanggulangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih belum efektif, oleh karena masih sebatas penyampaian informasi belaka.
Kampanye-kampanye yang dilakukan juga diakui belum mampu mengubah perilaku kelompok-kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS, antara lain para pengguna narkoba suntik dan penikmat seks bebas.
Hal tersebut terbukti dari laporan dari Departemen Kesehatan RI bahwa sampai dengan tahun 2006 ini, tidak ada satu pun provinsi di Indonesia yang bebas dari HIV/AIDS. DKI Jakarta menempati urutan teratas, diikuti oleh Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Laju penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia bahkan disebut-sebut merupakan salah satu yang tercepat di dunia.
Berdasarkan kondisi tersebut, tidak heran jika Dr. Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, mengatakan Indonesia berada “di tepi jurang” epidemi AIDS yang cukup serius. Berdasarkan data yang diperoleh dari UNAIDS: Report on The Global AIDS Epidemic, 2006, jumlah pengidap HIV/AIDS usia 15-49 tahun di Indonesia diperkirakan 170.000 orang, dengan perkiraan jumlah pengidap yang meninggal sepanjang tahun 2005 sebanyak 5.500 orang. Data tersebut menunjukkan suatu kenyataan pahit, bahwa salah satu korban dari epidemi HIV/AIDS di Tanah Air tidak lain adalah kaum remaja, harapan masa depan bangsa. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan!
Remaja: Berisiko Tinggi
Remaja masuk dalam kelompok risiko tinggi. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah usia mereka masih berada dalam masa transisi—bukan anak-anak lagi, namun belum dapat disebut orang dewasa—yang ditandai dengan adanya beberapa perubahan dalam diri mereka, antara lain perubahan fisik, emosi, pola pikir, sosial, dan biologis/seksual.
Kondisi demikian membuat kaum remaja belum memiliki kematangan mental oleh karena masih mencari-cari identitas/jati diri-nya, sehingga sangat rentan terhadap berbagai godaan dalam lingkungan pergaulannya. Godaan itu bisa berupa pemakaian narkoba, alkohol, seks bebas, dan sebagainya.
Pemerintah bukannya tidak menyadari akan potensi berkembangnya penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja. Berbagai usaha telah dilakukan, mulai dari pendidikan seks di sekolah-sekolah sampai kepada kampanye-kampanye pencegahan HIV/AIDS.
Namun hal itu dirasa belum efektif. Perubahan perilaku masih minim terjadi. Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004, menunjukkan bahwa remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu, kini sudah melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun! Selain itu terungkap pula bahwa 21-30 persen remaja Indonesia di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta telah pernah berhubungan seks bebas.

Pembentukan Karakter
Para ahli menyebutkan ada beberapa hal yang membuat kaum remaja mudah jatuh ke dalam perilaku seks bebas, antara lain pengaruh lingkungan pergaulan, pornografi, sulit membedakan antara cinta dan nafsu, naif karena berpikir berhubungan seks satu kali tidak apa-apa, dan lain sebagainya. Terhadap kondisi-kondisi demikian, sulit untuk menemukan suatu cara yang ampuh untuk mengatasinya selain adanya usaha-usaha pembentukan karakter dalam diri remaja.
Pendidikan seks yang berdasarkan pembentukan karakter bukanlah mengajarkan bagaimana melakukan seks yang aman, termasuk penggunaan alat-alat kontrasepsi seperti kondom, melainkan suatu program yang mendidik bagaimana seorang remaja memiliki karakter yang kuat seperti sikap bertanggung jawab, berani mempertahankan prinsip, rasa hormat terhadap diri orang lain, dan kemampuan pengendalian diri untuk tidak berperilaku negatif, dan sebagainya. Karakter-karakter yang demikian membuat seorang remaja mampu untuk mempertahankan prinsip “tidak melakukan hubungan seks bebas” (abstinence).
Menghadapi perkembangan yang mengkhawatirkan ini, dunia pendidikan, pemerintah, dan organisasi kesehatan sibuk menebarkan pesan “pengurangan risiko,” terutama tertuju pada kaum remaja.
Penanggulangan difokuskan pada upaya mengurangi kemungkinan terjadinya kehamilan atau tertular penyakit menular seksual, lazimnya dengan menyebarluaskan penggunaan alat kontrasepsi atau metode/sarana pencegah penyakit, terutama kondom. Ironisnya, masalah perilaku seks bebas itu sendiri kurang mendapat perhatian serius.
“Say No to Free Sex” adalah keputusan terbaik dan paling sehat untuk para remaja. Kenyataannya, pesan serupa secara universal diajarkan dalam menanggulangi perilaku beresiko tinggi lainnya, termasuk merokok, mabuk-mabukan, narkoba dan kekerasan (Misal: “Say No to Drugs”). Pantang melakukan semua tindakan berisiko tinggi– termasuk aktivitas seksual–menjamin masa depan yang cerah dan memberi kesempatan pada anak muda untuk membina persahabatan, meraih impian dan cita-cita, serta menikmati kesehatan yang optimum.
Beberapa kelompok masyarakat tertentu mengabaikan atau menganggap remeh ide agar seseorang menahan diri dari aktivitas seks di luar nikah. Menurut mereka, hal ini tidaklah realistis. Mereka beranggapan bahwa aktivitas seksual di kalangan remaja mau tak mau pasti terjadi, jadi pendekatan yang paling masuk akal adalah menolong mereka meminimalkan konsekuensi dari tindakannya itu.
Lebih jauh, asumsi “mau tak mau pasti terjadi” tidak pernah menjadi semboyan panutan program-program yang dengan gigih berupaya menanggulangi kecanduan rokok, alkohol, dan narkoba di kalangan kaum muda.
Berdasarkan suatu survei yang pernah dilakukan tentang ketepatan dalam menggunakan kondom, hasilnya menunjukkan tingkatan yang rendah, terutama di kalangan remaja. Rupanya asumsi bahwa remaja lebih sanggup menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seks bebas “jauh lebih realistis” dibanding asumsi bahwa remaja akan menggunakan kondom dengan benar setiap kali mereka berhubungan seks.
Lebih dari itu, meski kondom secara konsisten digunakan, khasiatnya kurang terjamin, dan dalam banyak kasus, kondom hanya memberikan perlindungan minimal terhadap penyakit menular seksual yang berbahaya.
Banyak pakar kedokteran yang bahkan meragukan efektivitas kondom dalam mencegah HIV/AIDS. Alasannya, pori-pori lateks yang menjadi bahan pembuatan kondom adalah 0,0003 mm, sedangkan ukuran virus HIV/AIDS jauh lebih kecil, 0,000001 mm.
Jika pesan yang mempromosikan pantang seks bebas (abstinence) diharapkan bisa terlaksana dengan efektif, tidaklah cukup bila kita hanya mengkampanyekan slogan “Say No to Free Sex” atau sesekali menggelar acara penyuluhan dan ceramah kesehatan tentang penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.
Pesan tersebut mesti dicanangkan secara komprehensif, multidimensi, dan berulang-ulang, lewat berbagai cara, selama beberapa tahun, baik di sekolah, di rumah, dan lingkungan sekitar.
Hasil yang baik tidak bisa diperoleh secara instan. Kombinasi dari peran pendidik, orangtua, pemerintah, maupun segala lapisan masyarakat diharapkan mampu menciptakan remaja yang berkarakter tangguh. n

Fokus Pada Keluarga adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang psikologi keluarga.

SEX ATAS NAMA CINTA (Remaja SMU di Surakarta)

Tema cinta seakan tak pernah habis untuk dibicarakan, tak pernah lekang untuk dikisahkan, tak pernah basi untuk didiskusikan. Setiap orang berbeda-beda dalam memanifestasikan cinta. Bagi orang tua, cinta adalah kebahagiaan manakala si buah hati terlihat lucu dan pintar atau cinta adalah perlindungan dan ungkapan rasa kasih saying ketika buah hatinya terbaring sakit sehingga hilang keceriaannya. Kata orang bijak cinta orang tua kepada anak adalah cinta sejati.

Bila ia seorang erotisme, maka cinta baginya adalah berapa keping vcd porno yang telah ia tonton, berapa wanita yang telah ia kencani dan berapa banyak ia menggodanya dan melecehkannya. Mungkin ia pendukung teori Sigmund freud yang berpendapat bahwa hidup manusia digerakkan oleh id (libido) saja. Cinta tak selamanya mendatangkan kesenangan tapi juga bisa mendatangkan kesedihan, kekecewaan bahkan kebencian . Antara cinta dan kebebasan seksual sungguh berbeda, cinta itu saling menyayangi, saling menjaga, saling melindungi, saling memberi dengan batasan-batasan tegas syar’i.


so da yg bantu gw dunk cra mengatasinya aq tkut jd kya yg diatas


Hasil Penelitian

Tahun 2005, penulis melakukan penelitian mengenai perilaku seksual remaja SMU di Surakarta. Subjek penelitian ini berjumlah 1.250 orang, berasal dari 10 SMU di Surakarta yang terdiri atas 611 subjek laki-laki dan 639 subjek perempuan.

Tabel Kelompok Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Kelompok Subjek

Jumlah Responden

%

Laki-laki

611

48,88

Perempuan

639

51,12

Total Jumlah

1.250

100,00

Kebanyakan subjek pernah menggunakan media pornografi, pada subjek laki-laki sebanyak 497 orang (81,34%) dan subjek perempuan 181 orang (28,32%); subjek yang mengaku tidak pernah menggunakan media pornografi pada subjek laki-laki sebanyak 114 orang (18,66%), subjek perempuan 458 orang (71,67%). Sebagian besar subjek mengaku pernah menonton film porno, pada subjek laki-laki sebanyak 403 orang (28,54%) dan subjek perempuan 111 orang (34,91%), sebagian kecil pornografi lewat foto pada subjek laki-laki 135 orang (9,56%) dan subjek perempuan 22 orang (6.92%).

Sebagian subjek laki-laki 212 orang (34,69%)mengaku kadang-kadang melakukan onani, subjek perempuan 27 orang (4,23%), dan 77 orang (12,60%) subjek laki-laki dan 9 orang (1,41%) perempuan mengaku sampai sekarang masih aktif melakukan onani.

Sebagian besar subjek mengaku sudah berpacaran. Usia pertama kali pacaran sebagian besar adalah 15-17 tahun subjek laki-laki sebanyak 246 orang (53,25%) dan subjek perempuan 272 orang (57,99%), usia 20-22 tahun sebanyak 1 orang (0,22%) pada subjek perempuan tidak ditemukan. Sebagian besar subjek mengaku pernah ganti pacar selama 1-2 kali, yaitu pada subjek laki-lakisebanyak 194 orang (41,99%) dan pada subjek perempuan sebanyak 196 orang (41,79%) .Sebagian besar subjek mengaku menjalani aktivitas pacaran 2-6 bulan, yaitu pada subjek laki-laki 171 orang (37,01%) pada subjek perempuan sebanyak 153 orang (32,62%), pada subjek laki-laki yang melakukan aktivitas pacaran kurang dari 1 bulan sebanyak 81 orang (17,53%) pada subjek perempuan sebanyak 67 orang (14,28%). Aktivitas pacaran subjek kebanyakan dilakukan di rumah sendiri yaitu pada subjek laki-laki 164 orang (23,33%), pada subjek perempuan sebanyak 37 orang (5,23%).

Subjek yang melakukan hubungan seksual dari 462 subjek laki-laki yang berpacaran ditemukan 139 orang (30,09%), yang mengaku telah melakukan hubungan seksual dari 469 subjek perempuan yang berpacaran ditemukan 25 orang (5,33%). Alasan mereka melakukan hubungan seksual sebagai bukti rasa cinta pada subjek laki-laki 57 orang (38,51%), sedangkan pada subjek perempuan 6 orang (24%); dengan alasan diperkosa atau dipaksa pada subjek laki-laki 4 orang (2,70%) pada subjek perempuan 2 orang (8%).

Usia subjek pertama kali melakukan hubungan seksual adalah 15-17 tahun yaitu pada laki-laki sebanyak 60 orang (43,16%) pada subjek perempuan 12 orang (48%). Hubungan seksual kebanyakan dilakukan bersama dengan pacarnya, pada subjek laki- laki 105 orang (53,29%) sedangkan pada subjek perempuan 21 orang (84%).

Setelah melakukan hubungan seksual kebanyakan subjek merasa puas atau nikmat, pada subjek laki-laki 61 orang (43,88%), sedangkan pada subjek perempuan 3 orang (12%). Kebanyakan subjek berpendapat melakukan hubungan seksual adalah berdosa: pada subjek laki-laki 329 orang (34,52%), sedangkan pada subjek perempuan 417 orang (42,12%).

Kebanyakan alasan remaja melakukan hubungan seksual adalah karena pengaruh lingkungan, vcd, buku dan film porno yaitu: pada subjek laki-laki sebanyak 389 orang (29,07%), sedangkan pada subjek perempuan 444 orang (31,11%). Alasan karena kemajuan jaman dan biar gaul, subjek laki-laki 113 orang (8,44%), pada subjek perempuan 99 orang (6,94%).

(Penulis: Taufik)

hehe bukan blank_er coz ya ni cm liad punyanya ms taufik

vidio mesum siswa sma beredar

Video mesum yang diperankan sepasang remaja kembali beredar di Brebes, Jawa Tengah, baru-baru ini. Rekaman berdurasi empat menit 16 detik itu menghebohkan warga terutama di kalangan pendidikan. Pasalnya, pemeran wanita dalam video tersebut diduga siswi salah satu sekolah menengah atas di Brebes.

Dalam rekaman itu, sepasang remaja itu tampak masih mengenakan seragam sekolah. Sementara pengambilan gambar diduga dilakukan di sebuah warung internet oleh orang lain. Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan SMA Negeri 3 Brebes, Endy Eros mengatakan, jika terbukti pemeran wanita video itu adalah anak didiknya maka pihak sekolah tak segan-segan untuk memberikan skorsing.(IKA/Sugihartono dan Dwi Aji Novyanto)

pentingnya pelajaran sex

Pada usia 10 - 14 tahun anak mulai mengalami perubahan fisik dan psikologis karena pubertas. Perlu kita tahu karena perbaikan gizi pada saat ini maka masa pubertas menjadi lebih cepat. Selain anak dan remaja mudah sekali mengakses informasi menyesatkan tentang seks dari bacaan, vcd porno, hand phone, internet.

Pendidikan seks di rumah itu akan membentuk karakter dan membentengi anak itu sendiri. Orang tua adalah pendidik seks yang penting. Pengajaran yang terbaik kepada seorang anak terjadi pada "Saat-saat yang tepat untuk mengajarkannya" ketika diskusi dan petunjuk terjalin secara alamiah dengan peristiwa dan kebutuhan kehidupan sehari-hari.

Pesan-pesan pertama merupakan pesan yang paling kuat. Jauh lebih kuat untuk membentuk pandangan anak tentang seksualitas sejak permulaan daripada mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang mereka ambil di dunia ini. Pesan-pesan yang tepat dan gamblang jauh lebih baik daripada pesan-pesan yang samar-samar dan tidak jelas

Orang tua harus mampu menjelaskan masalah seks sejak anak pra sekolah sesuai dengan tingkat pemahamannya. Saat pra sekolah misalnya anak balita bisa dijelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan ciptaan Tuhan yang mulia. Selain juga menyebut organ seks dengan benar dan tak terkesan jorok/kotor. Usia SD orangtua bisa menjelaskan proses pembuahan dan pertumbuhan embrio, masa akil balik yang disertai mimpi basah dan menstruasi.

Saat anak usia remaja orang tuan bisa menjelaskan tujuan Tuhan menciptakan seks, mengarahkan persahabatan yang wajar antar jenis, keterampilan untuk menghindari ke arah percumbuan dan dorongan seksual dan menghindari pergaulan yang buruk (free sex, homo, lesbi).

Anak-anak juga perlu ditunjukkan konsekuensi dari seks bebas yaitu AIDS, kehamilan usia dini, aborsi, penyakit seksual. Cara yang paling tepat melawan pornografi adalah melalui pendidikan seks dalam keluarga dan institusi agama.

Apa yang Harus Kita Lakukan

Akhirnya sebagai orangtua kita harus peka terhadap perubahan perilaku anak, meluangkan waktu cukup untuk anak, selalu membuka diri sehingga anak tak takut bercerita apa yang dirasakannya.

Melalui obrolan sehari-hari kita bisa menggali situasi pengetahuan/pengalaman anak dan mendiskusikan kasus-kasus yang nyata di lingkungan kita yang ada hubungannya dengan kasus KTD (kehamilan tidak diinginkan) misalnya jauhkan dari kesan tabu. Kita seharusnya bisa menjelaskan permasalahan seks dengan sehat dan bermartabat.

Bahkan jika kita mendapati anak-anak mengkonsumsi pornogragi selayaknya kita mendiskusikan dengan bijak tidak langsung memarahinya. :-)
(kaya tmn gue ketauan langsung dimarahin,pi gw g kan ortu gw g tau :-) :-) :-) ya pi sekarang gw dah tau dampak dan jeleknya nonton bokep)

Bahkan bila siap kita bisa mengajak anak usia remaja melihat proses fisiologis (bukan vcd porno) dan menerangkan dengan benar. Karena jika anak-anak mendapatkan hal itu di luar tentu akan berdampak negatif tak ada yang bisa menjelaskan secara benar.

Jadi bukan zamannya lagi menerangkan pada anak balita bahwa adik dibawa oleh burung bangau yang mampir ke rumah saat malam tiba. Siapkah kita? Harus siap dari pada kecolongan ...

blank_er : minta tolong dunk yg tau ngatasinya pkran2 ktor yg kbawa setelah gw pernah nonton tu bokep ya emg stlah gw g nonton seh g begitu sering muncul pkiran2 kya gtu pi klo liad djln da yg pke pkean .... jd suka ...... minta ya komentarnya!!!!!

murid2 sma pda hamil

Memang kejadiannya di Amerika sana. Bukan di negeri ini. Namun, yang perlu mendapat penelaahan adalah, apakah mereka sudah menikah? Kalo sudah menikah sih nggak masalah dong ya. Tapi gimana jadinya kalo mereka belum menikah? Kalo menurut hukum mereka sih bisa jadi biasa-biasa aja. Buktinya banyak yang seneng tuh :-)

Tapi kalo dalam pandangan Islam, kalo belum menikah, berarti hubungan mereka terkategori perzinaan. Haram dilakukan oleh kaum muslimin. Dalam kasus ini ada dua poin yang perlu dikritisi:

  1. Sebenarnya untuk anak usia sekolah tingkat SMA itu sudah baligh. Jadi kalo pun mau diberlakukan pernikahan, nggak masalah. Tentu saja harus dibarengi dengan penjelasan tentang hukum dan konsekuensi “nikah muda”. Jangan sampe semangat jika disuruh nikah muda, tapi malah bingung sendiri karena nggak bisa membina kehidupan rumah tangga. Jadi intinya, jika memang sudah siap menikah di usia muda, dan dibarengi dengan pengetahuan dan sikap mental yang sudah “matang” menikah silakan saja. Tapi, jika tidak, ya jangan dilakukan. Maka, jika pun suatu saat ada lembaga pendidikan yang membolehkan siswa-siswi menikah saat sekolah di SMA (sebagaimana mereka yang kuliah di perguruan tinggi), harus disiapkan pembinaan dan juga kemudahan untuk melakukan hal tersebut. Jika tidak, jangan coba-coba. Ide ini menurut saya perlu dikembangkan, daripada anak-anak dibiarkan melakukan hubungan gelap melalui pacaran bahkan sampai berzina, sementara mereka tak siap jika harus punya anak. Kan, lebih bagus diberikan pemahaman tentang agama dan juga persiapan menikah. Jelas, insya Allah menyelamatkan mereka.
  2. Kasus yang terjadi di Amerika ini adalah satu fakta bahwa kehidupan yang dibangun atas dasar liberalisme dan sekularisme telah membuat kerusakan. Di mana manusia bebas berbuat apa saja tanpa aturan. Ujungnya jelas kerugian bagi manusia itu sendiri. Kalo dalam Islam, anak hasil hubungan tanpa nikah tak akan mendapatkan warisan, juga jika yang lahir adalah anak perempuan, maka “ayahnya” tak boleh menjadi wali saat ia nikah. Kasihan banget kan? Inilah borok-borok produk Kapitalisme-Sekularisme, kian mendekati kehancurannya, dan sedang menyiapkan kuburannya sendiri bagi ideologi rusak ini. Mumpung belum terlambat, mumpung masih diberi waktu untuk hidup, bagi kita semua, segera campakkan ideologi Kapitalisme-Sekularisme dan ikatkan kesetiaan dan kepercayaan kita kepada ideologi Islam. Selamanya...